Bismillah.
Setelah membawakan ayat-ayat dalam surat al-An’am yang berisi larangan terhadap syirik kemudian penulis -Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah– membawakan sebuah atsar/riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu yang berkaitan dengan ayat tersebut.
قال ابن مسعود -رضي الله عنه-: “من أراد أن ينظر إلى وصية محمد -صلى الله عليه وسلم- التي عليها خاتمه فليقرأ قوله تعالى: {قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا} [(151) سورة الأنعام]، إلى قوله: {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ} [(153) سورة الأنعام].
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata : Barangsiapa yang ingin melihat wasiat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat stempel di atasnya, hendaklah dia membaca firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah; Kemarilah akan aku bacakan kepada kalian apa-apa yang diharamkan oleh Rabb kalian; Janganlah kalian berbuat syirik kepada Allah…” (al-An’am : 151) sampai firman-Nya (yang artinya), “Dan sesungguhnya yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.” (al-An’am : 153)
Di dalam ketiga ayat yang dibacakan oleh Ibnu Mas’ud tersebut terdapat kalimat yang sama, yaitu ‘itulah yang diwasiatkan oleh-Nya kepada kalian’. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat ini berisi wasiat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana ia merupakan wasiat dari Allah maka secara otomatis ia juga menjadi wasiat utusan-Nya; yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis wasiat niscaya beliau akan mewasiatkan sebagaimana apa-apa yang Allah wasiatkan. Dengan demikian bukanlah maksud perkataan Ibnu Mas’ud ini bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan wasiat khusus yang diberi stempel di atasnya. Ayat-ayat ini seolah-olah menjadi wasiat yang mendapatkan stempel dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; karena ia telah diwasiatkan oleh Allah di dalam al-Qur’an (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Qasim dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hlm. 19)
Apa yang diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud ini memberikan pelajaran bagi kita betapa dalamnya ilmu dan pemahaman para sahabat terhadap Kitabullah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam al-Mulakhash fi Syarh Kitab Tauhid, hlm. 20)
Isi wasiat ini yang paling pertama ialah larangan untuk berbuat syirik. Hal ini mengandung pelajaran bahwa syirik merupakan perkara yang paling diharamkan sedangkan tauhid merupakan kewajiban yang paling wajib. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pun menyatakan bahwa tauhid adalah perintah Allah yang paling agung dan syirik merupakan larangan Allah yang paling besar, sebagaimana beliau sebutkan dalam mukadimah risalah Ushul Tsalatsah. Dan demikianlah misi dakwah para nabi dan rasul; mereka selalu mendahulukan dakwah tauhid kepada manusia, setiap rasul berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya…” Setiap rasul mengajak kaumnya, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.”
Tidaklah yang demikian itu mereka lakukan kecuali disebabkan aqidah tauhid merupakan pondasi agama setiap insan. Tidak ada kebahagiaan dan keselamatan kecuali dengan meniti jalan penghambaan kepada Allah semata dan meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Karena itu pula setiap hari dalam setiap raka’at sholat kita diperintahkan untuk membaca ayat ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Inilah keyakinan seorang muslim. Tidaklah kita beribadah kecuali kepada Allah, dan hanya kepada Allah pula kita bertawakal. Inilah kandungan makna dari kalimat laa ilaha illallah dan kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah…